Tesis ini mengaji keadaan ingatan kolektif tentang genosida anti-Komunis Orde Baru di Indonesia dan upaya merebut kembali ingatan kolektif dari hegemoni. Dengan menggunakan penelitian arsip dan penelitian lapangan etnografis terhadap situs-situs ingatan di Yogyakarta dan Bali, penelitian ini mengeksplorasi hegemoni metanarasi G30S yang disponsori oleh negara terhadap ingatan kolektif tentang kekerasan negara, yang semakin melegitimasi rezim tersebut. Penelitian ini berargumen bahwa mengingat (sebagai bentuk utama melawan lupa) bersifat sentral dalam upaya merebut kembali ingatan kolektif tentang kekerasan negara dari hegemoni, dengan pemahaman bahwa keberagaman narasi merupakan karakter utama ingatan kolektif. Lebih dari itu, untuk mengkaji secara terbuka dimensi personal dan sosial dalam “mengingat”, ada keperluan untuk para individu melibatkan diri pribadi dengan masa lalu Indonesia yang kompleks. Tesis ini berusaha untuk berkontribusi pada diskusi yang lebih luas mengenai politik ingatan dalam masyarakat pasca-otoriter dan perjuangan yang sedang berlangsung untuk keadilan sejarah di Indonesia.

Abstract: This Master thesis examines the state of collective memory of Orde Baru Indonesia’s anti-communist genocide and the act of reclaiming collective memory from hegemony. Using archival research and ethnographic fieldwork of memory sites in Yogyakarta and Bali, the study explores the hegemony of the state sponsored G30S metanarrative over the collective memory of state violence, further legitimising the regime. It argues that remembering is central in reclaiming collective memory of violence from hegemony, respecting the understanding that having multiple diverse narratives is what defines collective memory. Personal and social dimensions to remembering are required to publicly engage with Indonesia's complex past. This thesis seeks to contribute to broader discussions on memory politics in post-authoritarian societies and the ongoing struggle for historical justice in Indonesia.